Sun16112025

Last updateWIB3_FriPMWIBE_November+0700RNovPMWIB_0PMthWIB1763117453+07:00FriPMWIBE

Aneka

Menelusuri Kosmologi Nusantara Di Tengah Sebutan Zaman Edan

Awang Dadang Hermawan

Penulis : Awang Dadang Hermawan (Pemerhati Intelijen, Sosial Politik dan SARA)

Kuningan Terkini - Di tengah gegap gempita teknologi dan dominasi nalar materialistik hari ini, muncul kembali suara-suara batin yang mengingatkan: ada yang lebih hakiki dari sekadar hidup nyaman menyandang sebutan penguasa. Melalui refleksi mendalam, teks-teks tua dan permenungan spiritual atas kondisi manusia modern, tampak jelas bahwa manusia Nusantara memiliki warisan kosmologi dan eskatologi yang luhur, namun kini tergantung, seolah tidak berpijak lagi.

Esai ini merangkum perenungan dari kritik terhadap mindset modern, pemaknaan ulang Serat Darma Gandul, hingga korespondensi spiritual antar generasi dalam satu narasi yang utuh tentang kehilangan dan pencarian Darma di tengah zaman edan ! Kosmologi Tergerus dengan “Mindset Laten” dan itu disebut Manusia Modern.

Poin pertama yang menjadi benang merah adalah krisis orientasi hidup dlm menjalani kehidupan manusia JAMAN KIWARI. Perenungan awal menyatakan bahwa manusia modern hidup dalam pola pikir yang terbentuk semata oleh duniawi/sekularisme : memahami kenyamanan, kebahagiaan versi konsumerisme, sikap olitik pragmatisme dan kebanggaan simbolik.

Mereka tidak lagi memahami “untuk apa” hidup dlm kehidupan ini dijalani. Bahkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi hingga artificial intelligence (AI - Kecerdasan buatan), bukannya mendekatkan manusia pada makna, justru memperjauh mereka dari kesadaran akan Sang Pencipta dan tujuan penciptaan.

Lebih dalam, berkembang apa yang disebut sebagai “mindset laten”, yakni pola pikir diam-diam namun dominan, yang menjauhkan manusia dari pertanyaan dasar tentang asal-muasal manusia dan akhir kehidupannya. Dalam situasi dan kondisi ini, manusia bukan hanya kehilangan arah berkiprah, tetapi juga kehilangan daya untuk bertanya, mengapa menjadi salah melangkah.

Akhirnya yang tersisa hanyalah kelelahan dalam perlombaan duniawi yang bersifat sementara, tanpa merasa mendapatkan ujung kepuasan ketika menjalani liku hidup dalam kehidupan ini. Bahwa Serat Darma Gandul/ Kebenaran yang Tergantung di Tengah Zaman Edan tetap berjalan ! Dipersoalan itu ada Kebangkitan kesadaran batin yang sebenarnya telah lama diperingatkan.

Serat Darma Gandul teks Macapat Satir dari masa peralihan Majapahit-Demak adalah salah satu warisan Nusantara yang mengandung kosmologi tersembunyi dan kritik eskatologis sangat mendalam. Lewat gaya vulgar namun sarat makna, teks ini menyindir hipokrisi elite dan menggambarkan kebenaran yang tak mendapat tempat: Darma Gandul Darma/kebenaran yang tergantung. Tokoh sentralnya,

Syekh Siti Jenar, menjadi simbol keberanian jiwa. Syeh Siti Jenar mengajarkan kesatuan manusia dengan Tuhan (wahdatul wujud) dan menjunjung spiritualitas di atas simbolisme , karena Diti Jenar memahami hanya Allah yang Sakral, lainnya PROFAN ! Namun karena terlalu terang, Syeh Siti Jenar dibunuh bukan hanya tubuhnya semata, melainkan cahayanya yang mengusik kekuasaan di jamannya.

Simbol cabul dalam teks ini bukanlah pornografi, tetapi cara rakyat menyuarakan keresahan terhadap kekuasaan yang memperkosa keadilan serta nilai luhur kemanusiaan yang adil dan beradab. Dalam budaya Jawa, ini adalah bentuk bahasa bawah sadar sindiran tajam dengan selubung humor dan ironi. Maka Serat Darma Gandul menjadi kitab kejujuran batin dalam zaman kepalsuan zaman edan yang belum berlalu, hanya berganti kostum.

Dari Serat ke Sikap: Suara Batin dalam Dialog Antar Generasi

Dalam respons personal, terbentuklah simpul makna yang menyentuh: kita hidup dalam zaman di mana algoritma dan simbol kosong menguasai, namun masih ada lilin-lilin kecil 0rang-0rang yang diam namun tetap menyala Bahwa Siti Jenar bukan hanya semata tertulis tokoh dalam sejarah merah putihnya nusantara, melainkan simbol “jiwa yang tidak takluk” di tengah derasnya informasi dan distraksi, masih ada ruang untuk keberanian dalam sunyi.

Begitupun cerita Semar, tokoh punakawan dalam wayang, dikutip sebagai simbol kearifan dalam diam bahwa : “Ora perlu akeh omong, sing perlu mung ati lan tumindak.” (Tidak perlu banyak bicara, yang diperlukan hanya hati dan tindakan). Inilah esensi kosmologi Nusantara: bahwa hidup bukan soal kata-kata dan janji manis, melainkan resonansi batin, bahwa jalan pulang selalu terbuka bagi mereka yang masih mau mendengar detak tanah tempat berpijak dan bisikan langit.

Penutup: Pulang ke Darma/kebenaran yg terbangun (Kembali ke jalan yang benar). Esai ini mengajak pembaca untuk berhenti sejenak dari hiruk-pikuk algoritma zaman dan mendengarkan kembali suara batin Nusantara yang masih dihuni rakyat sengsara. Dari kegelisahan zaman modern, kesaksian Serat Darma Gandul, hingga semangat sunyi Siti Jenar dan Semar, kita diajak untuk kembali bertanya: masih adakah ruang untuk Darma?(Kembali ke jalan hidup yang benar?).

Jika Darma kini tergantung, bukan berarti Darma itu hilang. Darma hanya menunggu jiwa-jiwa yang bersedia menjemputnya pulang dengan kesunyian, keberanian, dan cahaya dari dalam lubuk hati yang tulus ikhlas untuk menjalani hidup yang benar. Bahwa sesungguhnya Zaman edan belum berakhir, namun lilin-lilin kecil belum padam!

Inilah dharma/kebenaran yang terbangun, tugas sejarah yang menanti keberanian untuk dijalankan oleh siapapun pemangku jabatan penting dan kini sedang Memiliki kesempatan untuk menempatkan sesuatu harus pada tempatnya" Selama masih ada yang menjaga getaran batin itu, dharma akan menemukan jalannya pulang kembali ke jalan yang lurus.

Ditulis sebagai penghormatan terhadap warisan kosmologi dan eskatologi Nusantara, serta mereka yang masih menyimpannya dalam diam dengan penuh kekhawatiran lahir dan batin.

Add comment


Security code
Refresh


Fishing