Fishing

Konsep Alternative Dispute Resolution dalam Penegakan Hukum

Jum19042024

Last updateKam, 04 Apr 2024 4am

bjb

Profil

Konsep Alternative Dispute Resolution dalam Penegakan Hukum

Kompol Rizal Marito, SIK SH Msi

Kuningan Terkini - Sebagai abdi negara, tugas pokok kepolisian Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dirumuskan dalam ketentuan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 diantaranya yaitu mampu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan, pengayoman, serta pelayanan kepada masyarakat. Dalam kaitannya dengan tugas pokok Kepolisian tersebut, terkandung makna bahwa terwujudnya keamanan dan ketertiban harus tetap terpelihara.

Peran Polri dalam mewujudkan situasi tersebut diimbangi dengan pelaksanaan tugas penegakan hukum, sekaligus memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Kaitannya dengan penegakan hukum, Polri dituntut harus melaksanakan tugasnya secara profesional dan proporsional, dimana Polri harus mampu melihat dan mempertimbangkan tidak hanya aspek yuridis tetapi juga aspek sosiologis. Bertindak profesional berarti pelaksanaan tugas harus dilakukan sesuai aturan, ketentuan dan prosedur.

Sedangkan bertindak proporsional, berarti Polri harus mampu mempertimbangkan berbagai aspek sebelum melakukan tindakan dalam rangka pelaksanaan tugas, jangan sampai tindakan yang dilakukan walaupun sudah sesuai dengan prosedur, justru menimbulkan permasalahan yang lebih besar bahkan menimbulkan stigma negatif kepada Polri. Hal ini sering menjadi Topik hangat yang dibicarakan baik di media elektronik maupun di media cetak belakangan ini.

Masalah tindak pidana/kejahatan sebagai suatu kenyataan sosial tidak berdiri sendiri, tetapi berkaitan dengan masalah sosial, ekonomi, politik dan budaya sebagai fenomena yang ada dalam masyarakat dan saling mempengaruhi satu sama lain. Masalah tindak pidana/kejahatan ini, merupakan hasil interaksi karena adanya interelasi antara fenomena yang ada dan saling mempengaruhi tersebut.

Oleh karena itu, dalam membuat suatu kebijakan, perlu diperhitungkan semua fenomena yang dapat mempengaruhi positif atau negatifnya perkembangan lingkungan masyarakat , dan yang perlu dikedepankan bukanlah berapa banyak jumlah tindak pidana/kejahatan yang dapat diungkap, melainkan bagaimana Polri dapat mengeliminir seminimal mungkin menurut proporsi yang sebenarnya, untuk penanggulangan masalah tindak pidana/kejahatan ini. Konsep Polri yang baru, dengan menggunakan istilah Polri dalam paradigma baru telah berubah dalam cara pendekatan pelaksanaan tugas, termasuk dalam rangka penegakkan hukum yang salah satu tujuan dibuatnya aturan hukum, adalah untuk memberikan suatu kepastian dan rasa keadilan di masyarakat.

Namun seringkali proses hukum yang dilaksanakan secara formal tersebut, justru sering kali kurang dapat memberikan rasa keadilan di masyarakat khususnya kepada pihak-pihak yang berperkara, dan kadangkala proses hukum formal tersebut malah terasa tidak pernah memberikan rasa keadilan bagi korban bahkan tersangkanya. Dengan kondisi demikian, maka sering kali timbul upaya pencarian alternative penyelesaian perkara yang justru diluar hukum yang berlaku khususnya bagi yang berperkara.

Munculnya upaya penyelesaian perkara tersebut walaupun bertentangan dengan prinsip kepastian hukum, diharapkan dapat menggantikan fungsi hukum formal yang ada, terutama bagi pihak-pihak yang berpekara. Sehingga, dari kondisi yang demikian diharapkan terwujud kepercayaan masyarakat selaras dengan meningkatnya profesionalisme Polri. Polri dengan tugas pokoknya sebagai pemelihara Kamtibmas di dalam negeri, sebenarnya sudah sering melakukan upaya tersebut.

Dikatakan bahwa untuk kepentingan umum, maka pejabat Kepolisian dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaian sendiri, dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Salah satu upaya yang sering dilakukan oleh Polri, dalam mencari alternative hukum tersebut adalah penyelesaian dengan cara musyawarah, dimana Polri mulai mempertimbangkan tuntutan masyarakat yang sudah diakomodir kedalam aturan hukum, guna memberikan kesempatan kepada pihak-pihak yang berperkara untuk bermusyawarah dalam mencari solusi pemecahan masalahnya. Didalam mengupayakan penyelesaian permasalahan tersebut, alternatif penegakkan hukum tetap akan di laksanakan apabila Polri mempertimbangkan, bahwa tidak semua pihak bersepakat untuk menggunakan jalur alternatif dalam penyelesaian permasalahan tersebut.

Pihak-pihak tersebut adalah Pihak korban/pelapor dan pihak tersangka/terlapor, dan yang tidak kalah pentingnya, adalah pihak masyarakat yang diwakili tokoh-tokoh masyarakat dan termasuk media massa yang juga harus memiliki komitmen, bahwa permasalahan tersebut di sepakati untuk diselesaikan melalui jalur alternatif, sehingga keputusan yang di ambil Polri dalam mengambil langkah penyelesaian permasalahan melalui jalur alternatif tersebut, dapat memberikan rasa keadilan bagi semua pihak, dan Polri tidak menjadi Pihak yang di sudutkan atau di kambing hitamkan, karena dianggap tidak mampu menyelesaikan permasalahan tersebut.

Sementara disisi lain, para pihak tidak semuanya sepakat untuk menyelesaikan permasalahan tersebut dengan menggunakan jalur alternatif. Berdasarkan hal tersebut, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pokok penegakan hukum dipengaruhi faktor-faktor yang mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut.

Misalkan dikutip dari Prof Soerjono Sukanto faktor-faktor tersebut antara lain yaitu faktor hukumnya itu sendiri dalam hal ini undang-undangnya, faktor penegak hukum yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum, faktor masyarakat yaitu lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan, dan faktor kebudayaan yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Dari kelima faktor tersebut memang saling berkaitan erat. Sebab, hal tersebut merupakan esensi dari penegakan hukum sekaligus sebagai tolak ukur, penegak hukum untuk dapat menggunakan wewenangnya melalui jalur yuridis atau sosiologis. Namun, jalan yang ditempuh untuk kedua jalur tersebut hendaknya harus seimbang, bukan terpisah seolah-olah sebagai lawan yang berbeda, tidak berhubungan.

Ditinjau dari segi hukum pidana formal, tindakan Polri untuk mengesampingkan perkara pidana tidak bisa dibenarkan begitu saja. Karena, sifat hukum pidana yang tidak kenal kompromi dan untuk itu harus didasarkan pada landasan yang kuat . Sedangkan alasan-alasan sosiologis yang biasa digunakan dalam praktek, bersifat subjektif dan sangat situasional dan hal ini pastinya memerlukan landasan hukum yang tegas agar terdapat kepastian hukum baik bagi penyidik maupun bagi masyarakat itu sendiri.(*)

Penulis: Kompol Rizal Marito, SIK SH Msi, Mantan Wakapolres Kuningan yang sedang menempuh pendidikan Sespimen Polri di Bandung, Pasis Sespimen Polri Dikreg 55


Add comment


Security code
Refresh


Fishing